Tindakan seorang anggota DPRD dari Fraksi PDI-P dapil II sekaligus skretaris DPRD Bangkalan, yang dikenal dengan sapaan Jikkur atau Ba Qur, bukan hanya mencoreng martabat pribadi, tetapi juga melukai nilai-nilai demokrasi yang mestinya mereka junjung tinggi.
Dalam teori demokrasi deliberatif (Habermas), ruang publik mestinya diisi oleh diskusi rasional tanpa dominasi kekuasaan. Namun, apa yang terjadi di Bangkalan justru kebalikannya. kritik dibalas ancaman, argumen dibungkam dengan otot, dan legitimasi dewan berubah menjadi tirani kecil. Kekerasan verbal yang berulang, hingga berujung pada aksi fisik jambak-menjambak, menunjukkan betapa rapuhnya mental sebagian elit lokal ketika berhadapan dengan suara rakyat.
Seorang wakil rakyat, menurut teori representasi politik Hanna Pitkin, bukan hanya berdiri atas nama rakyat, tetapi harus bertindak demi kepentingan rakyat. Ironisnya, yang kita lihat justru representasi yang melenceng: rakyat dikritisi, rakyat dimarahi, bahkan rakyat disakiti. Padahal rakyatlah yang memberi mandat. Apa artinya kursi dewan kalau perilaku tidak lebih dari preman berseragam politik?
Opini ini harus ditegaskan, sikap Jikkur bukan hanya tindakan pribadi, tetapi gejala sistemik betapa lembaga legislatif kita rawan terjerumus menjadi ruang feodal baru. Kritik dianggap ancaman, oposisi warga dianggap musuh, padahal semua itu inti dari demokrasi. Bila wakil rakyat alergi kritik, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati amanat konstitusi.
Rakyat Bangkalan patut marah, karena ketika suara kritis dijambak rambutnya, yang sebenarnya dijambak adalah martabat rakyat itu sendiri. Jika praktik intimidasi ini dibiarkan, maka DPRD Bangkalan tidak lagi layak disebut lembaga perwakilan, melainkan hanya panggung kekuasaan yang kehilangan akhlak politik.
Rohman Mubaro (KMBY) Anggota Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta
0 Komentar