Pilkada oleh DPRD, Sebuah Kemunduran Konstitusional dalam Demokrasi Lokal

 


Oleh: Mas Ketum KMBY

Viral diberbagai media terkait usulan pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPRD. Opsi ini menggambarkan sebuah manuver politik yang bertentangan dengan semangat demokrasi konstitusional. Secara kasat mata, gagasan ini mungkin dipoles dengan dalih efisiensi anggaran atau stabilitas pemerintahan lokal. Namun jika dicermati dengan pendekatan teori hukum tata negara, usulan ini justru menjadi bentuk kemunduran serius yang menggerogoti pilar-pilar dasar negara hukum dan demokrasi yang telah dibangun sejak era reformasi.

Dalam kerangka teori kedaulatan rakyat sebagaimana dikembangkan oleh Hans Kelsen dan secara historis dimaknai oleh Jean-Jacques Rousseau, negara demokratis dibangun di atas prinsip bahwa kedaulatan terletak sepenuhnya di tangan rakyat. Melalui PILKADA langsung, rakyat menggunakan hak konstitusionalnya untuk menentukan siapa yang akan mengelola kekuasaan eksekutif di daerah. Ketika mekanisme ini dialihkan kepada DPRD, maka hubungan kekuasaan tidak lagi bersumber dari rakyat, tetapi dari oligarki partai politik. Ini bukan hanya pengingkaran terhadap volonte generale (kehendak umum), tapi juga pengkhianatan terhadap semangat demokratisasi yang diperjuangkan sejak amandemen UUD 1945.

Lebih lanjut, dalam konsep demokrasi konstitusional yang dikemukakan oleh Prof. Jimly Asshiddiqie, demokrasi bukan sekadar soal pemilu, tetapi soal jaminan partisipasi rakyat, transparansi, akuntabilitas, serta perlindungan hak asasi. Pilkada langsung adalah medium aktualisasi dari prinsip-prinsip tersebut. Mengganti model ini dengan pemilihan tertutup oleh DPRD justru menempatkan kekuasaan di ruang gelap lobi politik, menutup akses rakyat terhadap proses seleksi pemimpin, dan memperbesar peluang transaksionalisme politik yang selama ini menjadi penyakit laten dalam sistem kepartaian kita.

Dari sudut pandang prinsip checks and balances ala Montesquieu, penguatan demokrasi daerah juga sangat bergantung pada independensi dan distribusi kekuasaan yang sehat antar-lembaga. Jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka relasi itu akan menjadi relasi patron-klien: kepala daerah tak lagi otonom, melainkan menjadi produk dan sandera kekuasaan legislatif daerah. Ini mengaburkan garis pemisah antara fungsi legislatif dan eksekutif, menciptakan konflik kepentingan, serta membungkam kontrol rakyat terhadap penguasa.



Dalam konteks Indonesia, praktik pilkada oleh DPRD sebelum 2005 telah menjadi bukti empiris betapa mekanisme ini membuka ruang masif bagi politik uang, kolusi elite lokal, dan kooptasi jabatan publik oleh kepentingan sempit partai. Artinya, usulan ini bukan gagasan baru, melainkan daur ulang dari praktik lama yang sudah terbukti cacat secara etik dan konstitusional. Prof. Miriam Budiardjo pernah mengingatkan bahwa demokrasi tidak cukup diukur dari prosedur, melainkan harus menjamin substansi: adanya kesetaraan akses politik, kebebasan memilih, dan kontrol rakyat terhadap kekuasaan. Pilkada oleh DPRD justru menafikan semua prinsip tersebut.

Lebih ironis lagi, jika dilihat dari Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, maka jelas bahwa segala bentuk pengambilan kekuasaan dari rakyat harus dinilai sebagai bentuk delegitimasi konstitusional. Negara Hukum (rechtstaat) bukan sekadar tentang legalitas prosedural, tetapi juga tentang legitimasi substantif yang lahir dari partisipasi publik yang luas dan sadar.


Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY)

0 Komentar