Kabar tentang pesta narkoba yang dilakukan oleh ASN dan THL di Kantor Kecamatan Modung, Kabupaten Bangkalan, bukan sekadar mencoreng nama baik lembaga pemerintahan lokal ia mencerminkan kebangkrutan etika birokrasi dan kegagalan sistem pengawasan yang lebih luas. Kantor pemerintahan, yang idealnya menjadi simbol kepercayaan rakyat dan pusat pelayanan publik, justru berubah fungsi menjadi tempat perayaan penyimpangan. Ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi krisis institusional yang menuntut evaluasi radikal atas sistem birokrasi yang sedang sakit.
Dari sudut pandang teori Good Governance, peristiwa ini menunjukkan kerapuhan dua prinsip fundamental: integritasdan akuntabilitas. ASN dan THL bukan hanya pelaksana teknis, tetapi juga wajah negara di tingkat paling dasar. Ketika mereka terlibat dalam pesta narkoba di lingkungan kantor, kepercayaan publik yang menjadi fondasi legitimasi pemerintah perlahan ambruk. Lebih parah, masyarakat yang seharusnya melihat kantor kecamatan sebagai tempat mencari solusi, kini malah melihatnya sebagai sumber masalah.
Secara lebih mendalam, kita bisa menggunakan pendekatan teori organisasi modern, khususnya perspektif organizational culture yang dikemukakan oleh Edgar Schein. Dalam teorinya, kegagalan individu dalam organisasi kerap berakar pada budaya organisasi yang permisif atau bahkan disfungsional. Jika praktik menyimpang seperti konsumsi narkoba dapat terjadi di lingkungan kerja dan tidak segera diketahui atau dicegah, ini menandakan lemahnya struktur nilai bersama dalam organisasi birokrasi tersebut. Dalam konteks ini, ASN dan THL yang terlibat bukan sekadar oknum, melainkan gejala dari kultur birokrasi yang kotor dan lemah kontrol sosialnya.
Lebih lanjut, kita juga tidak bisa mengabaikan aspek lemahnya mekanisme control and oversight. Seharusnya, kantor pemerintahan memiliki sistem monitoring, pelaporan, dan pembinaan pegawai yang berjalan aktif dan menyeluruh. Ketika pesta narkoba bisa berlangsung di dalam kantor, ini berarti tidak ada sistem deteksi dini, tidak ada supervisi berjenjang, dan tidak ada budaya saling menjaga antarpegawai. Di sinilah gagalnya fungsi manajerial pemerintahan daerah, khususnya dalam membina dan mengawasi aparatnya.
Dalam dimensi sosial, perilaku menyimpang ini memperkuat persepsi bahwa sebagian aparatur negara sudah tidak lagi merasa menjadi pelayan rakyat, tetapi menjadi tuan atas ruang publik. Hal ini menciptakan jarak sosial antara pemerintah dan rakyat, serta memperkuat sikap apatis masyarakat terhadap negara. Padahal menurut konsep kontrak sosial, keberadaan negara hanya sah sejauh ia menjalankan fungsinya melayani rakyat dan menjamin hukum ditegakkan.
Oleh karena itu, kasus ini tidak boleh selesai hanya dengan pemecatan atau penindakan pidana terhadap individu pelaku. Ia harus menjadi titik awal reformasi kultural birokrasi, dimulai dari pembenahan sistem rekrutmen, pelatihan nilai-nilai integritas, penguatan pengawasan internal, hingga revitalisasi fungsi kantor pemerintahan sebagai pusat pengabdian, bukan tempat pelarian dan pelampiasan.
Jika tidak, kita hanya menunggu waktu sampai kantor-kantor pemerintahan lain di tempat lain menjadi arena pesta-pesta berikutnya. Dan ketika itu terjadi, yang dirusak bukan hanya kantor, tetapi makna negara itu sendiri.
Rahman Mubarak Anggota KMBY
0 Komentar