Larangan patung tikus dalam karnaval di Bangkalan mencerminkan kegagapan pemerintah daerah dalam memahami esensi kritik publik. Simbol tikus bukan sekadar boneka karnaval yang dipertontonkan, melainkan bahasa politik rakyat untuk menyampaikan keresahan atas praktik korupsi, kebusukan birokrasi, dan tumpulnya pengawasan terhadap pejabat publik.
Menyebutnya sebagai provokasi adalah bentuk penyederhanaan yang keliru, bahkan menyesatkan. Provokasi tidak lahir dari patung tikus, melainkan dari sensitivitas pihak yang merasa tersindir. Justru dengan pelarangan itu, pemerintah secara terang-benderang menunjukkan bahwa mereka lebih sibuk menjaga citra daripada mendengar suara warganya.
Dalam tradisi demokrasi, kritik tidak boleh dimatikan dengan alasan takut menyinggung karena hal itu hanya akan mempertebal kesan bahwa pemerintah anti-kritik. Karnaval adalah ruang rakyat untuk berekspresi, sebuah panggung budaya yang seharusnya dihormati sebagai bagian dari kebebasan berpendapat yang dijamin konstitusi.
Dengan melarang simbol-simbol kritis, pemerintah tidak hanya mematikan kreativitas masyarakat, tetapi juga menutup ruang pendidikan politik yang lahir secara organik dari bawah. Rakyat belajar menyampaikan aspirasi dengan cara damai, simbolis, dan penuh kreativitas, namun justru dipatahkan dengan stigma provokatif. Ini sama saja mengerdilkan nalar publik sekaligus memelihara budaya feodal: penguasa tidak boleh disentuh, apalagi dikritik.
Ironisnya, sikap ini justru memperlihatkan ketidakbecusan pemerintah dalam mengelola kritik. Jika pemerintah benar-benar bersih dan tidak merasa terancam, mestinya simbol tikus itu hanya dianggap sebagai ekspresi wajar yang memperkaya diskursus publik. Tetapi fakta bahwa mereka buru-buru melarang menunjukkan adanya rasa takut yang berlebihan takut pada cermin yang memantulkan bayangan busuk di balik kekuasaan. Padahal, keberanian menerima kritik adalah ukuran kedewasaan politik. Larangan semacam ini menegaskan bahwa sebagian pejabat masih terjebak dalam mentalitas otoriter yang menganggap kritik sebagai musuh, bukan vitamin bagi demokrasi.
Dengan demikian, kasus patung tikus di Bangkalan harus dibaca lebih dari sekadar peristiwa kecil di tingkat lokal. Ia adalah gambaran nyata bagaimana pemerintah, di berbagai level, sering kali gagal membedakan antara provokasi destruktif dengan kritik simbolik. Selama sensitivitas penguasa lebih besar daripada keberanian untuk berbenah, kebebasan berekspresi rakyat akan terus dicabut atas nama stabilitas semu. Dan pada titik inilah, demokrasi kita tidak hanya pincang, tetapi sedang diarak mundur ironisnya, lewat karnaval yang justru diciptakan untuk merayakan kebebasan.
Rahman Mubarok Anggota KMBY

0 Komentar