Setiap bulan Agustus, bendera merah putih semestinya berkibar di setiap sudut negeri sebagai simbol kebangsaan dan penghormatan terhadap perjuangan para pendiri bangsa. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, semangat ini tampak memudar. Banyak masyarakat mulai enggan mengibarkan bendera negara, bukan karena lupa atau lalai, tetapi sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang semakin telanjang: maraknya korupsi di kalangan pejabat, hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas, serta makin tergerusnya kepercayaan terhadap negara. Bahkan, sempat viral fenomena masyarakat mengganti pengibaran bendera merah putih dengan bendera bajak laut anime One Piece sebuah simbol perlawanan terhadap ketimpangan.
Namun, bentuk protes semacam ini perlu ditinjau ulang dengan nalar yang jernih dan pemahaman teoritis yang tepat. Dalam filsafat politik, tindakan semacam itu dapat dikategorikan sebagai misdirected dissent atau pembangkangan yang salah arah. Memprotes institusi atau oknum pelaku ketidakadilan, kemarahan justru diarahkan kepada simbol negara yang netral, yakni bendera merah putih. Ini mencerminkan fallacy of misplaced concreteness, yaitu kesalahan berpikir yang menganggap entitas abstrak (negara atau simbolnya) sebagai pelaku tunggal atas kezaliman, padahal yang seharusnya dikritik adalah individu atau struktur kekuasaan tertentu.
Dari sisi teori negara, Max Weber mendefinisikan negara sebagai entitas yang memiliki monopoli atas penggunaan kekuasaan secara sah (legitimate use of force) dalam suatu wilayah. Negara adalah struktur formal, bukan entitas moral. Moralitas dan keadilan dalam negara sangat bergantung pada integritas aktor-aktor yang menjalankannya: pejabat, politisi, aparat penegak hukum, dan institusi publik. Ketika struktur tersebut dirusak oleh tindakan koruptif, maka yang patut dikoreksi adalah sistem dan pelakunya bukan negara sebagai ide atau simbol-simbol kebangsaannya.
Teori kontrak sosial dari Jean-Jacques Rousseau dan John Locke juga menekankan pentingnya peran rakyat sebagai subjek politik yang aktif. Negara terbentuk dari kontrak bersama antara rakyat dan penguasa, dan ketika kontrak itu dilanggar oleh kekuasaan yang menyimpang, maka rakyat tidak hanya boleh tetapi wajib melakukan kontrol sosial dan perlawanan. Namun bentuk perlawanan yang efektif adalah yang diarahkan secara tepat dan membangun (constructive dissent), bukan justru yang merusak solidaritas dan identitas kolektif.
Di titik inilah penting untuk memahami bahwa mengibarkan bendera bukan berarti mendukung kebusukan kekuasaan, tetapi sebagai tanda bahwa masih ada rakyat yang percaya akan masa depan bangsa ini. Pengibaran merah putih bisa dimaknai sebagai aksi perlawanan simbolik bahwa bangsa ini belum menyerah, dan rakyatnya masih memiliki harapan. Tidak ada yang salah dengan mencintai tanah air sambil membenci ketidakadilan. Nasionalisme yang sehat justru tumbuh dari kesadaran kritis, bukan dari tunduk membabi buta pada otoritas.
Sosiolog Anthony Giddens dalam The Nation-State and Violence menyatakan bahwa negara modern tidak semata-mata dibentuk oleh kekuasaan birokratis, tetapi juga oleh praktik-praktik simbolik yang mempertahankan solidaritas kolektif. Jika simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan, dan upacara nasional ditinggalkan, maka negara akan kehilangan imagined unity nya, dan yang tersisa hanyalah fragmen-fragmen ketidakpercayaan yang memperlemah perjuangan rakyat sendiri.
Mengganti pengibaran merah putih dengan bendera asing atau simbol budaya pop dalam konteks protes sosial justru memperkuat stigma bahwa rakyat Indonesia telah kehilangan arah perjuangannya. Kita lupa bahwa negara ini berdiri karena keberanian rakyat, bukan kemurahan hati elite. Jika kini banyak elite yang mengkhianati nilai-nilai bangsa, maka tugas rakyatlah untuk menegakkannya kembali bukan dengan menjatuhkan simbol negara, tetapi dengan memperjuangkan substansi dari simbol itu sendiri: kemerdekaan, keadilan, dan kesejahteraan.
Mengkritik negara bukan berarti harus membenci negaranya. Membenci ketidakadilan bukan berarti menolak nasionalisme. Justru karena negara ini sedang tidak baik-baik saja, maka kita harus semakin keras menyatakan keberpihakan pada bangsa ini bukan kepada penguasa, tapi kepada rakyat, tanah air, dan cita-cita luhur kemerdekaan. Mengibarkan bendera merah putih di tengah krisis bukanlah bentuk kepasrahan, melainkan perlawanan yang penuh harapan. Karena hanya rakyat yang mencintai bangsanya yang mampu menyelamatkannya.
Moh Fadli Mahasiswa Universitas Marcubuana Yogyakarta
0 Komentar