Membaca Ulang Wacana Pembubaran Korwil Pendidikan, Wabub Bangkalan: Antara Kekuasaan, Persepsi, dan Tata Kelola Pemerintahan Daerah

 

Kak Toan Hukum

Pernyataan Wakil Bupati Bangkalan yang berencana membubarkan Koordinator Wilayah (Korwil) Pendidikan dengan alasan terlalau banyak mudharatnya dan jabatan tersebut seolah-olah menjadi bupati di kecamatan dan sering  mengatasnamakan kepala daerah patut dikritisi dengan pisau analisis teori kekuasaan dan hukum ketatanegaraan. Pernyataan ini tidak hanya mencerminkan kegelisahan politik-birokrasi, tetapi juga membuka perdebatan serius tentang relasi kekuasaan, legitimasi jabatan, dan desain kelembagaan dalam pemerintahan daerah.


Dalam teori kekuasaan, Max Weber membedakan antara kekuasaan (Macht) dan wewenang (Autoritat). Kekuasaan adalah kemampuan memaksakan kehendak, sedangkan wewenang adalah kekuasaan yang dilegitimasi oleh hukum atau norma. 


Korwil pendidikan, sebagai perpanjangan tangan Dinas Pendidikan, menjalankan fungsi koordinasi dan supervisi di tingkat kecamatan berdasarkan mandat formal. Apabila ada individu Korwil yang menggunakan jabatan untuk bertindak melampaui kewenangan, maka yang bermasalah adalah perilaku personal, bukan keberadaan lembaganya. Menghapus lembaga hanya karena perilaku oknumnya adalah bentuk overreaction yang justru mengacaukan sistem birokrasi.


Dari perspektif hukum ketatanegaraan, keberadaan Korwil pendidikan berada dalam kerangka desentralisasiadministratif, di mana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pendidikan di wilayahnya, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 


Prinsip dekonsentrasi dan delegasi menjadi penting: pelimpahan sebagian kewenangan dari pusat (dinas) ke wilayah kecamatan dimaksudkan agar layanan publik lebih dekat dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Membubarkan Korwil tanpa dasar hukum yang kuat berpotensi melanggar asas contrarius actus, yang menegaskan bahwa pembatalan atau perubahan kebijakan harus dilakukan oleh pejabat berwenang melalui prosedur hukum yang sama dengan saat kebijakan itu dibuat.


Lebih jauh, teori good governance yang dikembangkan oleh UNDP menggarisbawahi pentingnya efektivitas dan efisiensi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam tata kelola pemerintahan. Keberadaan Korwil pendidikan justru memperpendek jalur koordinasi antara sekolah, masyarakat, dan dinas. Tanpa Korwil, fungsi monitoring, pembinaan guru, dan pengawasan mutu pendidikan di kecamatan akan bergantung pada mekanisme yang lebih jauh dan lambat, yang berpotensi menurunkan kualitas pelayanan publik.


Pernyataan Bupati yang menilai Korwil sebagai “bupati bayangan” juga dapat dianalisis melalui teori separation of powers versi birokrasi. Dalam konteks ini, Korwil bukanlah kekuasaan eksekutif yang berdiri sendiri, melainkan organ koordinatif yang berada di bawah hierarki Dinas Pendidikan. Menafsirkan koordinasi sebagai ancaman terhadap kekuasaan kepala daerah justru menunjukkan adanya political insecurity, yaitu rasa terancam oleh fungsi administratif yang seharusnya mendukung visi kepala daerah itu sendiri.


Jika ada penyalahgunaan jabatan oleh Korwil misalnya menggunakan nama bupati untuk kepentingan pribadi langkah konstitusional yang tepat adalah memperkuat mechanism of control, baik melalui evaluasi kinerja, pemberian sanksi administratif, maupun rotasi jabatan. Pembubaran kelembagaan seharusnya menjadi the last resort, bukan respons pertama yang diambil hanya berdasarkan persepsi ancaman personal.


Oleh karena itu, wacana pembubaran Korwil pendidikan sebaiknya tidak diletakkan dalam kerangka mengamputasi ancaman kekuasaan, tetapi dalam logika membenahi tata kelola. Menghapus struktur tanpa analisis kebijakan yang matang akan menciptakan governance gap kekosongan koordinasi yang pada akhirnya merugikan masyarakat. Pemerintahan daerah yang sehat adalah pemerintahan yang melihat koordinasi sebagai kekuatan, bukan kompetisi.


Anggota KMBY

0 Komentar