Kritik Bukan Soal Move On, Tapi Soal Akal Sehat yang Tidak Tersandera Fanatisme

 

Oleh: Kak Tuan Hukum

Di tengah harapan akan tumbuhnya demokrasi yang matang di Bangkalan, kita justru dihadapkan pada satu tontonan menyedihkan, upaya pembunuhan nalar publik secara terang-terangan di ruang digital. Dalam sebuah siaran langsung TikTok bersama Aruf Kenzo, yang pada waktu itu juga ikut nimbrung akun bernama Perjuangan, akun ini tampil sebagai "juru tafsir tunggal" kebenaran, sembari dengan entengnya mengatakan sebenarnya orang yang mengkritik Bupati itu adalah orang-orang yang BELUM MOVE ON. Pernyataan ini bukan saja absurd, tapi juga mencerminkan betapa tipisnya perbedaan antara fanatisme politik dan kebodohan yang dipelihara, dan setelah penulis banyak cari tahu, ternyata pemilik akun perjuangan ini sering menarasikan BELUM MOVE ON itu setiap berdiskusi dengan para orang-orang yang mengkritisi pemerintahan bangkalan sekarang.


Apa yang dilakukan akun Perjuangan sesungguhnya adalah bentuk pengalihan isu murahan, mengubur substansi kritik dengan narasi emosional yang dangkal. Ini seperti menyiram bensin ke api, lalu menyalahkan api karena terbakar. Mereka tidak mampu menjawab isi kritik, sehingga memilih jalan pintas, mendiskreditkan pengkritik dengan cap sakit hati. Padahal, jika mau jujur, justru narasi Perjuangan itu sendiri adalah bukti nyata bahwa mereka-lah yang BELUM MOVE ON dari suasana Pilkada. Karena hanya orang yang masih trauma politik yang melihat semua kritik sebagai ancaman, bukan masukan.


Dalam perspektif teori kekuasaan Michel Foucault, tindakan seperti yang dilakukan akun ini adalah bagian dari praktik penguasaan wacana, membungkam kritik dengan membuat narasi tunggal tentang siapa yang boleh bicara dan siapa yang tidak. Mereka ingin memonopoli kebenaran dan mempatenkan loyalitas. Sedangkan menurut Antonio Gramsci, tindakan ini termasuk dalam strategi hegemoni budaya, yaitu mengendalikan opini publik agar menguntungkan kekuasaan, sekalipun harus dengan cara menindas kebebasan berpikir.


                                            

Akun Perjuangan mungkin lupa, atau memang tidak tahu, bahwa dalam sistem demokrasi, penguasa adalah subjek yang wajib dikritik, bukan disembah. Kritik bukan datang dari kebencian, tapi dari kewaspadaan warga terhadap arah kebijakan. Dan lucunya, mereka yang paling ribut menuduh orang lain BELUM MOVE ON, biasanya adalah mereka yang tidak pernah benar-benar siap hidup di luar bayang-bayang Pilkada. Hidupnya masih terjebak pada nostalgia kemenangan, seolah kekuasaan itu gelar abadi yang tak boleh disentuh oleh logika publik.


Lebih menyedihkan lagi, jika penguasa dibiarkan terus-menerus dikelilingi oleh orang-orang seperti pemilik akun Perjuangan ini yang kerjanya hanya menyapu bersih kritik dengan sapu usang bernama MOVE ON maka bisa dipastikan pemerintah daerah tidak sedang berjalan ke depan, tapi sedang berjalan di tempat, bahkan mungkin mundur dengan langkah penuh ilusi.


Pertama, Bupati Bangkalan harus mulai memilah siapa yang layak didengarkan. Kritik dari masyarakat, termasuk mantan rival politik, justru bisa menjadi bahan refleksi. Tapi kalau yang didengarkan hanya suara-suara menyesatkan seperti akun Perjuangan, maka jangan heran jika yang tumbuh bukan pemerintahan yang sehat, tapi kekuasaan yang penuh ilusi dan sanjungan semu.


Kedua, masyarakat perlu waspada terhadap akun-akun yang mencoba membajak demokrasi dengan narasi personal. Mereka tidak sedang menjaga kekuasaan, mereka sedang merusak integritasnya dari dalam. Fanatisme politik bukanlah bentuk loyalitas, tapi racun yang menggerogoti akal sehat dan menghambat evaluasi kebijakan.


Ketiga, jika kritik terus dibungkam dengan tudingan BELUM MOVE ON, maka kekuasaan daerah hanya akan berputar di sekitar satu lingkaran sempit, orang yang hanya pintar membenarkan, tapi tak pernah mau membenahi. Dan ini adalah jalan tercepat menuju kehancuran moral politik lokal.


Demokrasi tidak dibangun oleh pendukung yang mengiyakan semua, tapi oleh warga yang berani mengatakan ada yang salah. Maka berhentilah menyebut kritik sebagai bentuk sakit hati. Justru jika masih ada yang peduli mengkritik, itu tanda masih ada yang waras di tengah hiruk pikuk kekuasaan yang dikelilingi pendukung mabuk pujian.

 

Rahman Mubarok Panglima Tempur KMBY


0 Komentar