Oleh: Mahrus Ali
Pernyataan Menteri Keuangan yang menyentil rendahnya gaji guru honorer dan dosen, sembari mempertanyakan apakah negara harus terus-menerus membiayai mereka, adalah cermin dari krisis orientasi dalam kebijakan fiskal nasional. Pernyataan semacam ini bukan sekadar keliru secara etika, tetapi juga menyesatkan secara konstitusional dan mencerminkan lemahnya pemahaman terhadap fungsi fundamental negara dalam sektor pendidikan.
Sejak awal, konstitusi Indonesia melalui Pasal 31 UUD 1945 menegaskan bahwa pendidikan adalah hak setiap warga negara dan menjadi tanggung jawab negara sepenuhnya. Dalam konteks ini, negara tidak hanya dituntut menyediakan akses pendidikan, tetapi juga menjamin kualitasnya dan kualitas pendidikan tidak dapat dipisahkan dari kualitas dan kesejahteraan para pendidik. Guru dan dosen bukan sekadar tenaga kerja sektor publik, mereka adalah agen pembangunan manusia dan penjaga peradaban bangsa.
Pernyataan Menteri Keuangan yang memandang gaji guru dan dosen sebagai beban fiskal adalah bentuk reduksi terhadap peran strategis mereka. Dalam perspektif ekonomi pembangunan, pendidikan bukan sekadar pengeluaran (expenditure), tetapi investasi jangka panjang (long-term investment) dalam pembangunan sumber daya manusia. Bahkan ekonom klasik seperti Adam Smith dan modern seperti Amartya Sen menekankan bahwa kemajuan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas manusianya, dan pendidikan adalah katalis utama dalam proses tersebut.
Lebih jauh, teori keadilan distributif dari John Rawls mengajarkan bahwa dalam masyarakat yang adil, mereka yang berada dalam posisi penting bagi publik, khususnya yang penghasilannya paling rendah, harus diprioritaskan. Guru honorer dan dosen kontrak berada tepat dalam posisi itu memikul beban besar dengan penghargaan yang kecil. Ketika negara memilih untuk tidak memprioritaskan mereka, maka negara sedang menyalahi prinsip keadilan sosial yang juga menjadi dasar negara dalam sila kelima Pancasila.
Ironisnya, pemerintah bisa dengan mudah menggelontorkan triliunan rupiah untuk proyek-proyek infrastruktur dan program-program prestisius, tetapi gagap ketika dituntut memberikan upah layak bagi mereka yang sehari-hari membangun jalan pikiran generasi muda bangsa. Ini menunjukkan bahwa prioritas kebijakan fiskal kita seringkali lebih berorientasi pada citra pembangunan fisik, ketimbang substansi pembangunan manusia.
Ketika negara mulai mempertanyakan kewajibannya membiayai pendidikan dan pendidik, maka sejatinya negara telah lupa arah dan tujuan pendiriannya. Dan bila suara pejabat tertinggi dalam pengelolaan keuangan negara justru bernada menyalahkan pendidik atas beban fiskal, publik berhak bertanya: untuk siapa sesungguhnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ini dikelola? Apakah untuk menyejahterakan rakyat, atau sekadar untuk menopang elit birokrasi dan proyek-proyek mercusuar?
Pendidikan adalah pondasi utama bangsa. Guru dan dosen adalah penjaga pondasi itu. Jika mereka terus dipinggirkan, maka bukan hanya keadilan yang runtuh, tetapi masa depan bangsa ini pun akan rapuh.
Mahrus Ali Mahasiswa Universitas Al-Ma Ata Yogyakarta
0 Komentar