Dugaan Gratifikasi Jabatan di Bangkalan Bentuk Krisis Integritas Pemerintahan Bangkalan



Oleh: Kak Tuan Hukum

Dugaan gratifikasi jabatan yang menyeret nama saudara Bupati Bangkalan adalah ironi yang menusuk jantung demokrasi lokal. Dalam kacamata  rule of law dan teori good governance, hal ini bukan sekadar pelanggaran etika, melainkan ancaman sistemik terhadap legitimasi pemerintahan. Ketika kekuasaan politik tercampur dengan kepentingan keluarga, maka benteng integritas runtuh, dan jalannya pemerintahan berubah menjadi arena transaksi, bukan pengabdian.


Praktik seperti ini jika benar terjadi merupakan bentuk state capture paling telanjang. kebijakan publik, posisi strategis, bahkan arah pembangunan daerah, direduksi menjadi komoditas dagang yang diperjualbelikan demi keuntungan segelintir orang. 


Lebih berbahaya lagi, jual-beli jabatan akan melahirkan birokrasi yang korup sejak hulu, karena pejabat yang membeli posisi hampir pasti menempatkan loyalitas kepada pemberi jabatan, bukan kepada rakyat dan konstitusi. Dampak jangka panjangnya adalah runtuhnya meritokrasi, hilangnya profesionalisme aparatur, serta suburnya moral hazard yang menggerogoti setiap lapisan pemerintahan.


Kepala daerah, bila memiliki komitmen moral dan politik yang murni, seharusnya mengambil sikap extra ordinary membuka penyelidikan transparan, memastikan proses hukum berjalan tanpa intervensi, dan menjauhkan keluarga dari urusan birokrasi untuk menghapus dugaan konflik kepentingan. Diam atau bersikap setengah hati sama saja dengan mengamini kerusakan sistem. Sebab, dalam pemerintahan, membiarkan pelanggaran terjadi adalah dosa yang sama besarnya dengan melakukannya.

Jika Bangkalan ingin keluar dari bayang-bayang feodalisme politik dan patronase kekuasaan, kasus ini harus menjadi turning point untuk membersihkan birokrasi dari tangan-tangan tak terlihat yang bermain di balik meja jabatan. Tanpa itu, keadilan dan demokrasi hanyalah slogan kosong di spanduk perayaan, bukan kenyataan yang dirasakan rakyat.


Dari perspektif hukum tata negara, solusi konkret harus mengacu pada prinsip checks and balances serta perlindungan terhadap asas meritokrasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ASN dan peraturan tentang kode etik penyelenggara negara. 


DPRD sebagai lembaga pengawas wajib menggunakan hak interpelasi atau hak angket untuk memastikan proses penyelidikan berjalan independen. Aparat penegak hukum harus mengedepankan asas due process of law tanpa pandang bulu, termasuk terhadap keluarga pejabat yang diduga terlibat. 


Selain itu, mekanisme fit and proper test serta sistem seleksi jabatan berbasis open recruitment harus diperkuat dan diawasi publik, guna menutup ruang transaksional dalam birokrasi. Dengan demikian, hukum bukan hanya menjadi teks normatif, tetapi hadir sebagai kekuatan yang melindungi kepentingan rakyat dan menjaga martabat pemerintahan daerah.


Rahman Mubarok Anggota KMBY

0 Komentar