Oleh: Mustofa., S.E
Pernyataan
Bupati Bangkalan Lukman Hakim yang menggagas penggunaan Dana Desa (DD) untuk
pengelolaan sampah memang sekilas terdengar visioner. Ia ingin mendorong desa
tampil sebagai motor perubahan dalam mengatasi persoalan lingkungan, terutama
sampah. Tapi di balik narasi reformis itu, tersembunyi realitas pahit: desa
kembali dijadikan tumpuan atas kegagalan struktural pemerintah kabupaten yang
selama ini abai membangun sistem persampahan yang layak dan berkeadilan.
Secara prinsip,
Dana Desa dirancang sebagai instrumen penguatan otonomi desa untuk menjawab
kebutuhan warga secara spesifik dan berbasis musyawarah. UU No. 6 Tahun 2014
menegaskan bahwa desa berhak menentukan sendiri prioritas pembangunan
berdasarkan kehendak masyarakat, bukan karena tekanan dari atas. Maka ketika DD
justru diarahkan untuk membiayai urusan kabupaten yakni pengelolaan sampah yang
melintasi batas administratif desa yang terjadi bukanlah pemberdayaan,
melainkan pemaksaan. Fungsi Dana Desa bergeser, dari alat kemandirian menjadi
solusi instan atas defisit tanggung jawab pemerintah daerah.
Dalam kerangka
tata kelola keuangan publik yang sehat, kebijakan semacam ini seharusnya lahir
dari proses yang transparan, akuntabel, dan responsif terhadap kebutuhan riil
masyarakat desa. Pertanyaannya: apakah desa-desa di Bangkalan benar-benar
membutuhkan skema ini sekarang? Apakah kesiapan SDM dan kelembagaan sudah ada?
Jangan-jangan ini hanya kebijakan asal bunyi yang belum melewati uji kelayakan
di lapangan.
Realitas di lapangan jauh dari ideal. Banyak desa masih terseok-seok menyusun APBDes dengan benar, banyak pula yang belum paham sepenuhnya cara mengelola anggaran secara akuntabel. Tak sedikit laporan BPK dan kajian NGO yang menunjukkan betapa desa menjadi sasaran empuk penitipan proyek dari pemerintah atas. Dalam kondisi seperti ini, mendorong desa mengurus sampah tanpa tambahan anggaran, pelatihan, atau pendampingan yang memadai, adalah langkah gegabah yang bisa berujung bencana teknis sekaligus politik.
Perlu
digarisbawahi, pengelolaan sampah bukan sekadar membangun TPS atau membeli
motor bak sampah. Ini soal mengubah pola pikir masyarakat, mengelola limbah
rumah tangga, mendidik warga secara konsisten, hingga membangun ekosistem
ekonomi sirkular yang inklusif. Jika tidak disiapkan dengan visi jangka
panjang, proyek ini hanya akan jadi tambal sulam tahunan yang memboroskan
anggaran dan gagal total. Hasilnya? Fasilitas rusak, sampah tetap menumpuk,
masyarakat kembali apatis.
Jika memang
pemerintah kabupaten serius ingin menjadikan desa sebagai aktor kunci dalam isu
lingkungan, maka strategi yang diambil harus menghormati logika pembangunan
yang benar. Bukan top-down, melainkan bottom-up. Bukan paksaan
anggaran, melainkan insentif bagi desa-desa yang berani dan mampu berinovasi.
Pemkab semestinya hadir terlebih dahulu dengan program penguatan kapasitas,
membangun skema hibah berbasis proposal, serta memastikan seluruh intervensi
selaras dengan RPJMDes yang telah disusun secara demokratis.
Mendorong desa
memikul tanggung jawab persampahan lewat Dana Desa, tanpa dukungan memadai,
bukanlah keberanian. Itu pengalihan beban. Pemerintah daerah jangan cuci tangan
lalu mendorong desa ke garis depan tanpa senjata. Desa bukan ember penampung
proyek gagal, melainkan entitas otonom yang seharusnya dihormati kehendak dan
kapasitasnya. Jika tidak, kita hanya membungkus kegagalan lama dengan jargon
baru yang manis di permukaan, tapi busuk di dalam.
Saran dan
Masukan Penulis dalam kebijakan ini. Pertama. Lakukan Audit
Kebutuhan Nyata. Jangan asal dorong desa kelola sampah tanpa tahu apakah mereka
butuh dan mampu. Lakukan pemetaan potensi dan hambatan secara jujur dan
terbuka. Kedua. Tingkatkan Kapasitas Aparatur Desa. Sebelum
membebankan program, pemerintah kabupaten harus wajib memberi pelatihan teknis,
keuangan, dan manajerial yang intensif dan berkelanjutan. Ketiga.
Mulai dari Pilot Project. Uji dulu di desa yang siap. Beri insentif nyata,
evaluasi ketat, lalu kembangkan. Jangan semua desa dipaksa seragam ikut dalam
skema yang belum tentu cocok. Keempat. Dorong Kemitraan
Multipihak. Libatkan BUMDes, LSM, akademisi, dan sektor swasta untuk membangun
sistem persampahan berbasis ekonomi sirkular yang berdaya dan berkelanjutan. Kelima.
Perkuat Transparansi dan Kontrol Sosial. Warga dan BPD harus diberi ruang dan
akses untuk mengawasi agar tidak ada manipulasi, penyimpangan, atau proyek
fiktif.
Dengan
pendekatan yang jujur, bertahap, dan berpihak pada desa, pengelolaan sampah
bisa menjadi jalan menuju transformasi sosial-ekologis yang bermakna. Tapi jika
terus dipaksakan dalam kerangka kebijakan setengah matang, maka desa hanya akan
jadi korban berikutnya dari birokrasi yang malas membenahi sistem, tapi rajin
membagi beban.
BPH Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY)
0 Komentar