Bangkalan, dari Kota Singgah Menuju Kota Tujuan Wisata (Tantangan dan Tanggung Jawab di Tangan Bupati)


     
Oleh: Rahman Mubarok

Kecenderungan pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Bangkalan, dalam memandang sektor pariwisata hingga hari ini masih cenderung bersifat seremonial. Festival budaya, kirab tradisional, dan pameran UMKM lebih sering menjadi etalase yang bersifat temporer ketimbang pondasi jangka panjang pembangunan pariwisata. Aktivitas-aktivitas ini tentu penting sebagai bagian dari pelestarian budaya dan promosi lokal, namun jika hanya berhenti pada panggung seremonial, maka potensi strategis sektor pariwisata tidak akan pernah termanfaatkan secara maksimal. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, pariwisata bukan sekadar hiburan, tetapi bagian integral dari penguatan struktur ekonomi lokal, pelestarian lingkungan, dan transformasi sosial.

Kenyataannya, Kabupaten Bangkalan menyimpan kekayaan destinasi yang luar biasa. Dari wisata religi seperti Makam Syaikhona Kholil yang menjadi magnet spiritual dari berbagai daerah, hingga situs sejarah seperti Mercusuar Sembilangan dan benteng kolonial yang menyimpan narasi penting perjalanan bangsa. Ditambah lagi pesona alam seperti Bukit Jeddih, pantai-pantai perawan seperti di Sepuluh ada (Labuhan, dan Tengket). Tanjung Bumi ( Pantai Tlangoh, Pantai Biru, dan Pantai Lobu’), serta kawasan perbukitan seperti Bukit Hidayah Geger yang menawarkan kesejukan dan panorama menawan.

Namun, potensi itu belum ditopang oleh kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan keberlanjutan ekonomi. Di sinilah pentingnya pendekatan sosial dalam membangun pariwisata. Pariwisata yang bertumpu pada masyarakat (community-based tourism) bukan hanya soal mempekerjakan warga lokal sebagai penyedia jasa, melainkan soal bagaimana masyarakat lokal menjadi subjek pembangunan, pemilik narasi, sekaligus penerima manfaat utama dari kegiatan wisata. Sayangnya, hal ini masih jauh dari kenyataan di Bangkalan. Masyarakat hanya ditempatkan sebagai pelengkap yang pasif dalam geliat pariwisata yang dirancang dari atas ke bawah (top-down), tanpa pelibatan yang nyata dalam proses perencanaan, pengambilan keputusan, maupun pengelolaan.

Dalam kerangka teori developmental state dan creative economy, kepala daerah seperti Bupati seharusnya memosisikan pariwisata sebagai tulang punggung pembangunan ekonomi yang inklusif. Negara dalam hal ini diharapkan tidak netral, melainkan hadir aktif dalam menciptakan iklim yang mendukung tumbuhnya sektor ekonomi berbasis kreativitas, budaya lokal, dan inovasi masyarakat. Ini artinya dibutuhkan keberanian politik untuk memprioritaskan sektor pariwisata tidak hanya dalam retorika, tapi juga dalam distribusi anggaran, peraturan yang mendorong investasi sosial, serta kebijakan pelatihan SDM dan inkubasi UMKM kreatif.

Namun, hingga kini, komitmen politik dari Bupati Bangkalan belum menunjukkan arah ke sana. Tidak terlihat adanya alokasi anggaran yang memadai untuk pengembangan pariwisata berbasis masyarakat. Belum tampak skema insentif atau perlindungan bagi pelaku ekonomi kreatif lokal yang berbasis budaya. Upaya menata kawasan wisata pun belum menunjukkan kemajuan berarti. Infrastruktur penunjang masih minim, akses ke lokasi wisata banyak yang rusak, papan informasi banyak yang hilang atau tidak pernah dipasang, dan nyaris tidak ada pusat informasi terpadu yang bisa menjadi pintu masuk edukatif bagi wisatawan maupun investor.

Lebih dalam, problem yang dihadapi Bangkalan bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur sosial dan kelembagaan. Ketiadaan lembaga pengelola destinasi berbasis masyarakat, minimnya pelatihan keterampilan untuk warga lokal, munculnya calo disetiap wisata yang mau berkembang, serta lemahnya integrasi lintas sektor dalam tata kelola pariwisata menunjukkan bahwa pendekatan pembangunan masih sektoral dan bersifat tambal sulam. Hal ini diperparah oleh tidak adanya mekanisme akuntabilitas publik terhadap program pariwisata, sehingga segala bentuk kegagalan tidak pernah menjadi pelajaran untuk memperbaiki kebijakan.

Pengembangan pariwisata sejatinya membutuhkan integrasi kebijakan (policy integration) melalaui pendekatan lintas sektor (policy integration). yang melibatkan banyak aktor. Dinas Pendidikan harus aktif dalam merancang kurikulum keterampilan wisata berbasis lokal di sekolah kejuruan. Dinas Perhubungan bertanggung jawab memastikan konektivitas antar destinasi. Dinas Lingkungan Hidup harus mengawal agar pengembangan destinasi tidak merusak ekosistem alam. Kepolisian Resor (Polres) harus hadir sebagai jembatan kenyamanan dan keamanan wisata agar sepi dari calo dan Bhegal. Sementara sektor swasta harus didorong untuk bermitra dengan komunitas lokal dalam skema public-private partnership yang sehat dan adil. Semua ini hanya bisa berjalan jika ada perencanaan makro yang jelas, sistematis, dan berbasis data. Tanpa koordinasi ini, semua hanya akan menjadi proyek tambal sulam yang tidak mengakar.

Saran kami kepada Bupati Bangkalan, segera susun cetak biru pembangunan pariwisata Bangkalan secara partisipatif berbasis data dan riset. Kalau sudah ada, tingkatkan dan kembangkan. Libatkan kampus-kampus di Madura, pelaku usaha lokal, komunitas budaya, serta tokoh-tokoh masyarakat dalam proses perumusannya. Tetapkan target jangka pendek, menengah, dan panjang secara realistis. Identifikasi kawasan prioritas dan siapkan rencana pengembangan infrastruktur berbasis analisis spasial dan sosial. Buat sistem pelatihan terpadu bagi warga lokal yang mencakup pemandu wisata, homestay, kuliner, dan kerajinan tangan. Jadikan warga sebagai pemilik, bukan sekadar pelayan.

Jangan lagi menjadikan festival budaya sebagai wajah utama pariwisata. Karena di balik kemeriahan panggung, sering kali tersembunyi stagnasi dan ketimpangan sosial. Tanpa keberanian merombak cara pandang terhadap pariwisata, Bangkalan akan terus menjadi kota singgah yang dilalui, bukan kota tujuan yang dicari.

Jika langkah ini tidak diupayakan dilakukan, maka sejarah akan mencatat bahwa masa kepemimpinan ini adalah masa yang gagal membangkitkan potensi wisata Bangkalan. Bukan karena Bangkalan tak punya kekayaan, tetapi karena pemimpinnya tak punya kemauan dan visi jangka panjang. Pariwisata bukan sekadar urusan promosi, tapi proyek sosial dan ekonomi yang membutuhkan integritas, keberpihakan, dan komitmen nyata.

 

Rahman Mubarok Panglima Tempur KMBY

0 Komentar