Kecenderungan
pemerintah daerah, termasuk Kabupaten Bangkalan, dalam memandang sektor
pariwisata hingga hari ini masih cenderung bersifat seremonial. Festival
budaya, kirab tradisional, dan pameran UMKM lebih sering menjadi etalase yang
bersifat temporer ketimbang pondasi jangka panjang pembangunan pariwisata.
Aktivitas-aktivitas ini tentu penting sebagai bagian dari pelestarian budaya
dan promosi lokal, namun jika hanya berhenti pada panggung seremonial, maka
potensi strategis sektor pariwisata tidak akan pernah termanfaatkan secara
maksimal. Dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, pariwisata bukan sekadar
hiburan, tetapi bagian integral dari penguatan struktur ekonomi lokal,
pelestarian lingkungan, dan transformasi sosial.
Kenyataannya,
Kabupaten Bangkalan menyimpan kekayaan destinasi yang luar biasa. Dari wisata
religi seperti Makam Syaikhona Kholil yang menjadi magnet spiritual dari
berbagai daerah, hingga situs sejarah seperti Mercusuar Sembilangan dan benteng
kolonial yang menyimpan narasi penting perjalanan bangsa. Ditambah lagi pesona
alam seperti Bukit Jeddih, pantai-pantai perawan seperti di Sepuluh ada (Labuhan,
dan Tengket). Tanjung Bumi ( Pantai Tlangoh, Pantai Biru, dan Pantai Lobu’), serta
kawasan perbukitan seperti Bukit Hidayah Geger yang menawarkan kesejukan dan
panorama menawan.
Namun, potensi
itu belum ditopang oleh kebijakan yang berorientasi pada keadilan sosial dan
keberlanjutan ekonomi. Di sinilah pentingnya pendekatan sosial dalam membangun
pariwisata. Pariwisata yang bertumpu pada masyarakat (community-based
tourism) bukan hanya soal mempekerjakan warga lokal sebagai penyedia jasa,
melainkan soal bagaimana masyarakat lokal menjadi subjek pembangunan, pemilik
narasi, sekaligus penerima manfaat utama dari kegiatan wisata. Sayangnya, hal
ini masih jauh dari kenyataan di Bangkalan. Masyarakat hanya ditempatkan
sebagai pelengkap yang pasif dalam geliat pariwisata yang dirancang dari atas
ke bawah (top-down), tanpa pelibatan yang nyata dalam proses
perencanaan, pengambilan keputusan, maupun pengelolaan.
Dalam kerangka
teori developmental state dan creative economy, kepala daerah
seperti Bupati seharusnya memosisikan pariwisata sebagai tulang punggung
pembangunan ekonomi yang inklusif. Negara dalam hal ini diharapkan tidak
netral, melainkan hadir aktif dalam menciptakan iklim yang mendukung tumbuhnya
sektor ekonomi berbasis kreativitas, budaya lokal, dan inovasi masyarakat. Ini
artinya dibutuhkan keberanian politik untuk memprioritaskan sektor pariwisata
tidak hanya dalam retorika, tapi juga dalam distribusi anggaran, peraturan yang
mendorong investasi sosial, serta kebijakan pelatihan SDM dan inkubasi UMKM
kreatif.
Namun, hingga
kini, komitmen politik dari Bupati Bangkalan belum menunjukkan arah ke sana.
Tidak terlihat adanya alokasi anggaran yang memadai untuk pengembangan
pariwisata berbasis masyarakat. Belum tampak skema insentif atau perlindungan
bagi pelaku ekonomi kreatif lokal yang berbasis budaya. Upaya menata kawasan
wisata pun belum menunjukkan kemajuan berarti. Infrastruktur penunjang masih
minim, akses ke lokasi wisata banyak yang rusak, papan informasi banyak yang
hilang atau tidak pernah dipasang, dan nyaris tidak ada pusat informasi terpadu
yang bisa menjadi pintu masuk edukatif bagi wisatawan maupun investor.
Lebih dalam,
problem yang dihadapi Bangkalan bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi
juga infrastruktur sosial dan kelembagaan. Ketiadaan lembaga pengelola
destinasi berbasis masyarakat, minimnya pelatihan keterampilan untuk warga
lokal, munculnya calo disetiap wisata yang mau berkembang, serta lemahnya
integrasi lintas sektor dalam tata kelola pariwisata menunjukkan bahwa
pendekatan pembangunan masih sektoral dan bersifat tambal sulam. Hal ini
diperparah oleh tidak adanya mekanisme akuntabilitas publik terhadap program
pariwisata, sehingga segala bentuk kegagalan tidak pernah menjadi pelajaran
untuk memperbaiki kebijakan.
Pengembangan
pariwisata sejatinya membutuhkan integrasi kebijakan (policy integration)
melalaui pendekatan lintas sektor (policy integration). yang melibatkan
banyak aktor. Dinas Pendidikan harus aktif dalam merancang kurikulum
keterampilan wisata berbasis lokal di sekolah kejuruan. Dinas Perhubungan
bertanggung jawab memastikan konektivitas antar destinasi. Dinas Lingkungan
Hidup harus mengawal agar pengembangan destinasi tidak merusak ekosistem alam. Kepolisian
Resor (Polres) harus hadir sebagai jembatan kenyamanan dan keamanan wisata agar
sepi dari calo dan Bhegal. Sementara sektor swasta harus didorong untuk
bermitra dengan komunitas lokal dalam skema public-private partnership
yang sehat dan adil. Semua ini hanya bisa berjalan jika ada perencanaan makro
yang jelas, sistematis, dan berbasis data. Tanpa koordinasi ini, semua hanya
akan menjadi proyek tambal sulam yang tidak mengakar.
Saran kami
kepada Bupati Bangkalan, segera susun cetak biru pembangunan pariwisata
Bangkalan secara partisipatif berbasis data dan riset. Kalau sudah ada,
tingkatkan dan kembangkan. Libatkan kampus-kampus di Madura, pelaku usaha
lokal, komunitas budaya, serta tokoh-tokoh masyarakat dalam proses
perumusannya. Tetapkan target jangka pendek, menengah, dan panjang secara
realistis. Identifikasi kawasan prioritas dan siapkan rencana pengembangan
infrastruktur berbasis analisis spasial dan sosial. Buat sistem pelatihan
terpadu bagi warga lokal yang mencakup pemandu wisata, homestay, kuliner, dan
kerajinan tangan. Jadikan warga sebagai pemilik, bukan sekadar pelayan.
Jangan lagi
menjadikan festival budaya sebagai wajah utama pariwisata. Karena di balik
kemeriahan panggung, sering kali tersembunyi stagnasi dan ketimpangan sosial.
Tanpa keberanian merombak cara pandang terhadap pariwisata, Bangkalan akan
terus menjadi kota singgah yang dilalui, bukan kota tujuan yang dicari.
Jika langkah
ini tidak diupayakan dilakukan, maka sejarah akan mencatat bahwa masa
kepemimpinan ini adalah masa yang gagal membangkitkan potensi wisata Bangkalan.
Bukan karena Bangkalan tak punya kekayaan, tetapi karena pemimpinnya tak punya
kemauan dan visi jangka panjang. Pariwisata bukan sekadar urusan promosi, tapi
proyek sosial dan ekonomi yang membutuhkan integritas, keberpihakan, dan
komitmen nyata.
0 Komentar