Aparat Keparat: Mosi Tidak Percaya dengan Slogan Polri 'Untuk Masyarakat'

 



Oleh : Riffai Ahmad

 

Gelombang demonstrasi yang kembali mengguncang Jakarta pada akhir Agustus 2025 menyisakan duka mendalam. Sebuah peristiwa tragis terjadi ketika aparat keamanan diduga menggunakan kekerasan berlebihan dalam upaya membubarkan massa. Di antara korban, seorang pengemudi ojek online (ojol) bernama Affan Kurniawan dilaporkan meninggal dunia setelah terlindas kendaraan taktis Brimob. Rekannya, Moh. Umar Amirudin, masih berjuang di rumah sakit akibat luka serius yang dialaminya. 

 

Kekerasan di Tengah Demokrasi Unjuk rasa adalah hak konstitusional warga negara. Namun, alih-alih dilindungi, masyarakat justru berhadapan dengan intimidasi dan kekerasan dari mereka yang seharusnya mengayomi. Pengerahan aparat bersenjata lengkap dan kendaraan taktis yang digunakan untuk membubarkan massa menjadi bukti bahwa pendekatan represif masih menjadi pilihan utama, bukan jalan terakhir. Kematian seorang ojol dalam tragedi ini memperlihatkan bahwa semboyan Polri “untuk masyarakat” semakin dipertanyakan. Bagaimana mungkin sebuah institusi yang mengklaim dirinya sebagai pelindung justru menghadirkan rasa takut, bahkan maut, bagi rakyat biasa? 

 

Aparat Keparat?

Kemarahan publik mengalir deras di media sosial. Istilah “Aparat Keparat” menjadi simbol kekecewaan mendalam terhadap kepolisian yang dinilai gagal menjalankan fungsi dasarnya. Permintaan maaf yang disampaikan oleh pimpinan Polri dianggap tidak cukup, karena nyawa yang telah melayang tidak bisa dikembalikan hanya dengan kata-kata. Elemen Masyarakat dan tentumya Komunitas ojek online menegaskan mosi tidak percaya terhadap Polri. Mereka menilai tragedi ini adalah bukti nyata bahwa aparat lebih sering menggunakan kekerasan daripada melindungi. Tuntutan agar kasus ini diusut tuntas dan pelaku ditindak secara hukum kini menjadi gema bersama.

 

Propam dan Transparansi yang Diragukan Pihak kepolisian menyatakan bahwa Divisi Propam tengah memeriksa tujuh anggota Brimob yang terlibat dalam insiden tersebut. Kompolnas pun dilibatkan agar proses berjalan transparan. Namun, publik masih skeptis. Sejarah mencatat, banyak kasus serupa berakhir tanpa keadilan yang nyata. Rasa tidak percaya itu semakin menguat karena setiap tragedi selalu diikuti narasi permintaan maaf, tanpa perubahan berarti dalam tubuh institusi.

 

Luka Kolektif Masyarakat Bagi keluarga korban, ini adalah kehilangan yang tak tergantikan. Affan Kurniawan hanyalah seorang pencari nafkah yang kebetulan berada di tengah situasi ricuh, namun justru menjadi korban dari kebijakan yang keliru. Baginya, slogan Polri tidak lagi bermakna apa pun. Luka yang ditinggalkan tidak hanya milik keluarga, tetapi juga milik seluruh masyarakat yang menyaksikan bagaimana nyawa rakyat bisa melayang di jalanan tanpa perlindungan.

 

Mosi Tidak Percaya Peristiwa ini menjadi momen penting untuk mengevaluasi ulang peran dan wajah kepolisian di mata rakyat. Jika aparat terus menerus mengedepankan kekerasan, maka kepercayaan publik akan semakin runtuh. Mosi tidak percaya terhadap slogan Polri sebagai institusi “untuk masyarakat” bukanlah sekadar retorika, melainkan realitas pahit yang dirasakan warga negara. Polri harus menjawab: apakah mereka benar-benar ada untuk rakyat, atau justru menjadi momok yang ditakuti rakyat?


Pengurus Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta

0 Komentar