Oleh: Nandan
Di tengah riuh
rendah wacana perubahan sosial, para aktivis seharusnya menjadi garda terdepan
dalam menyuarakan suara-suara yang terpinggirkan. Namun, di Bangkalan, geliat
aktivisme tampaknya mengalami kemunduran yang serius. Para aktivis, yang
semestinya menjadi representasi dari nalar kritis mahasiswa, justru terjebak
dalam kenyamanan semu yang diberikan oleh para elite politik lokal. Mereka
bukan hanya menikmati fasilitas, tetapi juga perlahan kehilangan daya dobrak
intelektual dan keberanian moral dalam bersikap.
Fenomena ini
menunjukkan bahwa banyak aktivis hari ini lebih condong pada pragmatisme
daripada idealisme. Pura-pura berpikir kritis dan mandiri, mereka justru
bergantung pada proposal dan patronase dari para senior atau politisi. Maka tak
mengherankan bila hari ini sulit menemukan aktivis yang benar-benar kritis di
Bangkalan. Aktivisme direduksi menjadi aktivitas seremonial yang miskin
substansi.
Secara
sederhana, dunia pergerakan mahasiswa dapat dibagi ke dalam dua tipologi: mahasiswa
kritis dan mahasiswa NGELEMIS. Mahasiswa kritis adalah mereka yang independen
secara pemikiran dan finansial dalam menjalankan roda organisasi. Mereka
membiayai hidup berorganisasinya dengan kerja keras mengandalkan keringat,
bukan proposal. Mereka banyak membaca untuk mengisi otak, banyak berdiskusi
untuk mempertajam logika, dan tak segan turun ke jalan demi membela rakyat
kecil. Mereka percaya bahwa aktivisme bukan sekadar kegiatan eksistensial,
melainkan misi perjuangan sosial.
Sebaliknya,
mahasiswa NGELEMIS memilih jalan pragmatis. Ketika ingin membuat kegiatan, yang
terpikir pertama adalah: siapa senior yang bisa dimintai proposal? Ketika tak
ada uang untuk ngopi, langsung menghubungi senior dengan dalih “diskusi” atau
“minta arahan.” Yang dijalankan bukan ide, tetapi agenda yang bisa dibiayai.
Semangat perubahan didelegasikan pada kepentingan-kepentingan pragmatis jangka
pendek.
Fenomena ini
dapat dijelaskan melalui konsep intelektual organik yang dikemukakan oleh Antonio
Gramsci. Dalam kerangka Gramscian, aktivis mahasiswa idealnya adalah
intelektual organikmereka yang berpihak pada rakyat tertindas dan menjadi
bagian dari perjuangan kelas bawah. Intelektual organik tidak hanya pintar
bicara, tetapi juga turun langsung menyatu dengan rakyat dan bekerja untuk
membebaskan mereka dari penindasan struktural.
Namun, apa yang
terjadi di Bangkalan menunjukkan matinya peran intelektual organik. Aktivis
berubah menjadi intelektual elitis mereka yang lebih sibuk menjaga relasi kuasa
dengan elite ketimbang membangun kesadaran kritis massa. Keterikatan pada
bantuan finansial dari senior dan politisi membuat mereka kehilangan
independensi berpikir dan bertindak.
Dalam
perspektif teori ketergantungan (dependency theory), kita bisa melihat
bahwa ketergantungan pada proposal dan bantuan dari luar organisasi membuat
gerakan mahasiswa mengalami stagnasi struktural. Mereka tidak tumbuh menjadi
subjek perubahan, melainkan objek dari kekuasaan yang memelihara ketergantungan
itu sendiri.
Maka dari itu,
wajar bila muncul pertanyaan tajam, aktivis Bangkalan ini mahasiswa kritis atau
makelar proposal? Jika aktivisme hanya dijalankan sepanjang ada anggaran, maka
sesungguhnya itu bukan gerakan, melainkan proyek. Dan jika pergerakan hanya
hidup di bawah bayang-bayang senior dan politisi, maka itu bukan aktivisme,
melainkan pengejaran rente sosial.
Gerakan
mahasiswa haruslah bebas dari intervensi kekuasaan. Sebab ketika kekuasaan
masuk, maka idealisme akan dijual murah. Aktivisme menjadi formalitas,
seremonial, dan simbolik. Tidak ada keberanian, tidak ada perlawanan. Yang
tersisa hanya selfie di forum diskusi dan unggahan-unggahan palsu tentang perjuangan yang sebenarnya nihil makna.
Generasi
aktivis hari ini punya pilihan. Tetap menjadi mahasiswa NGELEMIS yang
menumpang hidup dari proposal dan relasi politik, atau bangkit menjadi
mahasiswa kritis yang berdiri tegak di atas prinsip, ilmu, dan integritas.
Bangkalan butuh aktivis sejati, bukan pengekor kekuasaan. Kritis bukan berarti
kasar. Tapi diam saat ada ketidakadilan, itulah pengkhianatan. Saatnya aktivis
Bangkalan berhenti menjadi penumpang, dan kembali menjadi penggerak.
Muhammad Fauzi Mahasiswa UINSUKA Yogyakarta
0 Komentar