Ketika Bupati Bangkalan Menutup Telinga, Demokrasi Lokal Dipertaruhkan

 



Oleh: Rahman Mubarok 

Demokrasi akan berkembang dan lebih baik, jika dipimpin oleh seseorang yang faham pada ruh keberadaan demokrasi itu sendiri, setiap pemimpin yang memiliki jiwa kepemimpinan yang baik serta kapasitas yang cukup, ia akan faham pada situasi dan kondisi tempat yang dipimpin, serta faham pada apa yang diharapkan oleh orang-orang yang memimpin, semua itu akan tercermin dari sikap keterbukaan seorang pemimpin, yakni tidak menutup ruang diskusi, selalau siap menerima dan meminta masukan untuk perbaikan dan kebaikan demi kemajuan. 


Hal ini sama sekali tidak melekat pada sikap Bupati Bangkalan, karena kami pernah mengajukan permohonan diskusi bersama Bupati Bangkalan akan tetapi tidak mendapat respons sama sekali, surat permohonan audiensi dari Keluarga Mahasiswa Bangkalan Yogyakarta (KMBY) yang pada waktu itu kami membawa beberapa pembahasan tentang PERDA Kabupaten Bangkalan. 


Bupati tidak memberikan respon ini bukanlah sekadar kelalaian administratif, melainkan cerminan dari krisis kepemimpinan dalam kerangka demokrasi lokal. Di tengah era desentralisasi dan keterbukaan informasi, tindakan semacam ini justru menunjukkan regresi tata kelola pemerintahan ke arah yang elitis dan tertutup. Surat permohonan audiensi yang dilayangkan oleh teman-teman KMBY pada tanggal 24 Maret 2025 itu hanya menjadi tumpukan kertas yang tertutup oleh sikap populis Bupati, merasa paling merakyat dan dekat dengan rakyat , tapi pada nyatanya ia hanya menjadikan semua itu sifat manipulasi publik.


Silaturrahim yang diharapkan oleh teman-teman mahasiswa Bangkalan Yogjakarta itu adalah salah satu ikhtiyar baik untuk kemajuan Kabupaten Bangkalan. Tapi niat baik itu tidak mendapat respon dan dukungan dari Bupati Bangkalan, jika ditanyakan kecewa dan tidaknya tentu kami kecewa, karena Bupati Bngkalan hanya dimedia saja meraakyat, tapi nyatanya ia klise dengan rakyatnya. 


Dalam perspektif hukum tata negara, hak warga negara untuk menyampaikan aspirasi dan mendapatkan respons dari pemerintah dijamin oleh konstitusi, khususnya dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Audiensi bukan hanya bentuk etiket komunikasi, melainkan realisasi dari prinsip partisipatory governance di mana rakyat tidak hanya diposisikan sebagai objek kebijakan, tetapi sebagai subjek aktif dalam perumusan dan evaluasi kebijakan publik.


Sementara itu, teori sosial Jurgen Habermas tentang ruang publik (public sphere) memberikan fondasi yang kuat untuk memahami betapa pentingnya interaksi antara pemerintah dan masyarakat sipil, termasuk mahasiswa. Dalam ruang publik yang sehat, diskursus antara rakyat dan pemegang kekuasaan harus terbuka dan setara. Ketika pemimpin daerah menutup diri dari dialog dengan mahasiswa yang notabene adalah aktor kritis dan moral dari masyarakatmaka yang terjadi adalah keruntuhan komunikasi deliberatif yang seharusnya menjadi jantung demokrasi.


Lebih jauh, tindakan pembiaran terhadap surat audiensi ini menunjukkan mentalitas kekuasaan yang feodal: pemimpin merasa tidak perlu menjawab rakyat jika itu tidak menguntungkan citra atau posisinya. Ini jelas bertentangan dengan prinsip good governance, yang mensyaratkan transparansi, akuntabilitas, dan responsif terhadap kebutuhan warga. Pemimpin yang takut berdialog dengan rakyatnya pada dasarnya tidak sedang melindungi stabilitas, melainkan sedang membungkam kritik dan membangun tembok ketidakpercayaan.


Mahasiswa sebagai bagian dari civil society memiliki fungsi kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Ketika akses komunikasi dengan pemimpin daerah diblokir secara sepihak, maka bukan hanya demokrasi yang dilecehkan, tetapi juga kepercayaan publik yang dirusak. Apalagi KMBY bukan organisasi asing, melainkan representasi pemuda Bangkalan yang secara intelektual peduli terhadap kampung halamannya.


Oleh karena itu, Bupati Bangkalan perlu disadarkan bahwa jabatan bukanlah privilese untuk menutup diri, melainkan mandat untuk melayani. Menghindari dialog bukan solusi, justru menambah daftar panjang kepemimpinan yang gagal membangun jembatan antara negara dan warga. Dalam konteks ini, mahasiswa KMBY telah menunjukkan sikap yang benar dengan mengajukan permohonan resmi, justru pemerintah daerahlah yang gagal memenuhi tanggung jawab konstitusionalnya.


Rahman Mubarok Panglima Tempur KMBY




0 Komentar